Istilah politik hukum berasal dari
bahasa Belanda yaitu “rechts-politiek”
yakni bentukan dua kata “rechts”
(hukum) dan “politiek” (politik).
Antara kedua kata ini terdapat hubungan yang erat walaupun masing-masing
mempunyai pengertian yang berbeda. Untuk dapat lebih memahami hubungan antara
kedua kata itu, pertama-tama perlu diketahui arti kata politik dan arti kata hukum.
Kata politik dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis Van der Tas
mengandung arti beleid, yang berarti
kebijakan (policy). Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak.
Selanjutnya Logemann, dalam bukunya “Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht”
yang dikutip Shidarta, membedakan
antara ilmu politik dengan politik. Politik merupakan perbuatan memilih pihak
tertentu untuk tujuan-tujuan sosial tertentu yang dianggap bernilai, dan
pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Ilmu politik meneliti bagaimana cara
mencapai tujuan-tujuan sosial tersebut, dan sarana yang dapat digunakan.
Oleh karena luasnya definisi ilmu
politik, Miriam Budiardjo mengkategorikan
pengertian-pengertian itu menurut lima konsep pokok, yaitu:
(1) Negara (state);
(2) kekuasaan (power);
(3) pengambilan keputusan (decision making);
(4) kebijakan (policy; beleid);
(5) pembagian (distribution) atau pengalokasian (alocation).
Sedang Joyce Mictchel mengatakan, “politics
is collective decisions making or the making of public policies for an entere
society”. Senada dengan itu, Karl W.
Deustch menyatakan, “politics is the
making of decisions by publics means”. Dua pernyataan ini menegaskan bahwa
ilmu politik pada dasarnya menekankan pada pengambilan keputusan secara
kolektif atau ditujukan untuk kebutuhan publik. Isi dari keputusan itu
merupakan kebijakan umum (public policy).
Bahkan Hoogerwerf, menekankan bahwa objek ilmu politik adalah kebijakan
pemerintah, proses terbentuknya, serta akibat-akibatnya.
Hal yang sama Maurice Duverger mengatakan, bahwa “political in its usual connotation is concept daling with the state”
(pengertian yang lazimnya diberikan kepada politik merupakan konsepsi yang
berhubungan dengan negara). Senada dengan itu, pakar ilmu politik dari India
yaitu S.P. Varma mengatakan “political science now became the science of
the state, or a branch of the social sciences dealing with the theory,
organization, government and practice of the state”(sekarang ini ilmu
politik telah menjadi ilmu pengetahuan tentang negara, atau suatu cabang dari
ilmu-ilmu social mengenai teori, organisasi, pemerintahan dan praktek negara).
Dalam hubungan ini Gabriel A. Almond
& G. Bingham Powell, Jr. memperingatkan bahwa cakupan kata-kata seperti
“state, government, nation are limited by
legal and institutional meanings” (negara, pemerintahan, dan bangsa,
terbatas pada pengertian-pengertian yuridis dan institusional) sebab istilah-istilah
itu sebenarnya mencakup lebih banyak lagi. Banyak pakar seperti G.E.G Catlin dan H.D. Lasswell melihat politik sebagai ilmu pengetahuan tentang
kekuasaan pada umumnya. Bahkan Karl
Loewenstein menganggap bahwa politics
is nothing else the strunggle for power (politik adalah tidak lain daripada
pergulatan untuk merebut kekuasaan).
Pendapat-pendapat tersebut di atas,
tergambar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa kata politik mempunyai tiga
arti, yaitu :
1. (IImu) pengetahuan mengenai ketatanegaraan
atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar-dasar
pemerintahan);
2. Segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat, dsb.) mengenai pemerintahan negara atau terhadap Negara
lain;
3. kebijakan, cara bertindak (dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah).
Sedangkan pengertian hukum, seorang
pakar hukum Inggris R.W.M. Dias
berpendapat bahwa sangat sulit untuk merumuskan definisi hukum yang dapat
diterima oleh semua orang. Setiap pemikiran ilmiah di bidang hukum
selalu dipengaruhi oleh pandangan hidup orang yang bersangkutan, pandangan
politiknya, emosi dan kesukaan-kesukaannya. W. Friedmann mengatakan bahwa hukum bertautan di satu ujung dengan
filsafat dan di lain ujung dengan ideologi politik. Itulah sebabnya pendapat
para pakar ilmu hukum mengenai pengertian hukum sangat beragam. Hans Kalven dan Hans Zeisel mengatakan
bahwa hukum adalah ibarat sebuah jendela untuk melihat kehidupan, hukum adalah
sejarah, dan hukum selalu terlihat dalam penterjemahan nilai-nilai masyarakat
kedalam norma-norma. Jadi sebagaimana kehidupan itu sangat luas,
mempunyai beraneka ragam aspek dan segi maka demikian jugalah hukum. Sulitnya
mendefinisikan hukum digambarkan juga oleh Lloyd dalam Achmad Ali dalam “Menguak
Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis Dan
Sosiologis”, yaitu “although ‘much
juristic in’ has been used in an attempt to provide a universally acceptable
definition of law, there is little sighn of the objective having been attained.
Memberikan suatu definisi berarti menyamaratakan, sehingga tidak dapat mencakup
semua aspek dan segi itu. Oleh karenanya dapat dapat dipahami kalau pakar hukum
terkenal H.L. Hart dalam bukunya “The Concept of Law” tidak memberikan
definisi tenang hukum.
Namun secara sederhana dapat dikatakan
bahwa law, in generic sense, is a body of rules of action or conduct prescribed by
controlling authority, and having binding legal force atau mengutip Sri Soemantri Martosoewignjo, bahwa hukum adalah seperangkat aturan
tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat. Artinya semua ilmuwan hukum sependapat
bahwa hukum adalah aturan-aturan mengenai perilaku manusia dalam kehidupan
masyarakat, yaitu apa yang patut dan tidak patut dilakukan dalam pergaulan hidupnya.
Di samping arti umum tadi, terdapat
pula berbagai arti yang diberikan kepada hukum. Soedjono Dirdjosisworo misalnya, memberikan delapan arti hukum,
yaitu:
(1) hukum dalam arti ketentuan
penguasa;
(2) hukum dalam arti para petugas;
(3) hukum dalam arti sikap tindak;
(4) hukum dalam arti sistem kaedah;
(5) hukum dalam arti jalinan nilai;
(6) hukum dalam arti tata hukum;
(7) hukum dalam arti ilmu hukum; dan
(8) hukum dalam arti disiplin hukum.
Dengan ilmu hukum dimaksud ilmu ilmu
yang menelaah hukum senagai kaedah atau
system kaedah. Dengan dogmatic hukum, hukum sebagai sistematik hukum. Dan hukum
dalam arti disiplin, melihat hukum sebagai gejala atau kenyataan yang ada dalam
masyarakat.
Satjipto
Rahardjo, mengatakan
hukum merupakan institusi sosial yang
tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan masyarakat. Sebagai institusi
social maka penyelenggaraannya berkaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat
itu sendiri. Hukum itu tidak bekerja menuntut ukuran dan pertimbangannya
sendiri, melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk
dilakukannya bagi masyarakat. Jadi hukum bukanlah merupakan suatu lembaga yang
sama sekali otonom, melainkan berada dalam kedudukan yang kait-mengkait dengan
sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Hukum tidak hanya dipakai untuk
mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang
dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi,
menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Untuk menjalankan
pekerjaannya, hukum membutuhkan suatu kekuasaan sebagai pendorong, tetapi hukum
tidak bisa membiarkan kekuasaan ini untuk menunggangi hukum.
Sementara itu Soetandyo Wigjosoebroto, mengatakan bahwa ada tiga konsepsi hukum,
yaitu:
(1) konsepsi kaum legis-positiv yang
menyatakan bahwa hukum itu identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat
serta diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat Negara yang berwenang.
Konsepsi pertama ini melihat hukum sebagai suatu sistem normative yang
tertutup, otonom, dan terkucil dari kehidupan masyarakat;
(2) konsepsi sosiologis yang
mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Konsepsi ini melihat hukum sebagai the
abstract of actual behavior, dan
(3) konsepsi yang dilahirkan dan
dibesarkan di kalangan para antropolog dan yuris yang terpikat oleh studi-studi
mengenai hukum yang berlaku dalam masyarakat yang belum mengenal baca-tulis.
Menurut konsepsi ketiga, hukum itu adalah identik dengan keputusan-keputusan
hakim terutama keputusan-keputusan kepala adat.
Sedangkan Abdoel Gani dalam tulisannya mengemukakan konsep atau tipe hukum
sebagaimana dikemukakan oleh R.M. Unger
dan Ph. Nonet & Ph. Selznick. Tiga konsep hukum dari
Unger adalah customary law or
interactional law, bureaucratic law or regulatory law, the legal order or legal
system. Customary law adalah sama
dengan konsepsi kedua dari Soetandyo, dan bureaucratic
law adalah sama dengan konsepsi pertama dari kaum legis-positivistis. Tiga
tipe hukum Ph. Nonet & Ph. Selznieck
adalah repressive law, autonomous law,
responsive law. Tipologi dari Ph. Nonet & Ph. Selznick berlaku bagi
negara-negara yang hanya mengakui hukum tertulis saja. Artinya tergantung dari
konfigurasi politik atau sistem politik yang ada. Sedang Abdoel Gani mengikuti
pendapat H.Th.J.F van Maarseveen yang mengatakan bahwa Het recht is het gezicht van de politiek (hukum adalah wajah dari
politik). Pendapat ini diikuti oleh Mahfud M.D. yang mengatakan bahwa
hukum meruapakan produk politik.
Dan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya tidak memberikan pengertian
tentang hukum. Nampaknya pengertian hukum diserahkan pada doktrin atau teori
hukum.
Selanjutnya pengertian politik hukum L.J. Van Appeldoorn dalam bukunya
“Pengantar Ilmu Hukum” menggunakan istilah politik perundang-undangan. Hal ini dapat
dimengerti karena di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang, dan hukum
kebiasaan (tidak tertulis) diakui juga tetapi jika diakui oleh undang-undang.
Sedangkan dari perspektif terminologis,
Padmo Wahjono dalam bukunya
Indonesia Negara Berdasar Hukum mendefiniskan politik hukum sebagai kebijakan
dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang dibentuk.
Teuku
Mohammad Radhi dalam
sebuah tulisannya mendefinsikan politik hukum sebagai pernyataan kehendak
penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah
perkembangan hukum yang dibangun (ius
constitutum dan ius constituendum).
Adapun menurut Sudarto, politik hukum didefinisikan sebagai kebijakan dari Negara
melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan
yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan (ius constitutum).
Sedangkan Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktifitas
memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat.
C.F.G.
Sunaryati Hartono
yang menitikberatkan politik hukum pada aspek ius constitutum mendefinisikan politik hukum sebagai alat (tool) atau sarana dan langkah yang
dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasioanal yang
dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita
bangsa Indonesia.
Sementara itu, Abdul Hakim Garuda Nusantara memberikan arti politik hukum sebagai
kebijakan hukum (legal policy) yang
hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan
negara tertentu.
Oleh karenanya Bagir Manam, berpendapat bahwa politik hukum tidak lain dari
politik ekonomi, politik budaya, politik pertahanan dan keamanan, dan politik
dari politik itu sendiri. Politik hukum mencakup politik pembentukan hukum,
politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum.
Berdasarkan elaborasi ragam definisi
politik hukum tersebut, maka definisi operasional dari politik hukum dalam
penelitian ini adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum
yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber pada nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Dengan kata lain politik hukum
nasioanal mengandung dua makna utama yang berjalan dialektis yaitu pertama, sebagai legal policy dan kedua,
sebagai instrumen untuk menilai dan mengkritisi (instrument pengendali) apakah hukum
yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut. Sebagai legal
policy, politik hukum dijadikan sebagai “blue
print” dalam menetukan arah pencapaian tujuan negara yang tertuang dalam
berbagai produk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan konvensi
ketatanegaraan. Sedangkan politik hukum sebagai instrument pengendali artinya
bahwa dalam mengimplemetasikan hukum, negara melalui organ-organnya berfungsi
untuk menjaga agar kebijakan hukum berjalan sesuai dengan fungsinya.
Dengan kata lain politik hukum nasional mengandung dua
makna utama
yang berjalan dialektis yaitu pertama, sebagai legal policy dan kedua,
sebagai instrumen untuk menilai dan mengkritisi (instrumen pengendali) apakah hukum yang dibuat sesuai atau
tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut. Sebagai legal
policy, politik hukum dijadikan sebagai "blue print" dalam menentukan
arah pencapaian tujuan negara yang tertuang
dalam,berbagai, produk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan
konvensi ketatanegaraan. Sedangkan politik hukum sebagai instrumen pengendali
artinya bahwa dalam mengimplementasikan hukum, negara melalui organ-organnya
berfungsi untuk menjaga agar kebijakan hukum berjalan sesuai dengan fungsinya.