Lahirnya sebuah
Undang-Undang sudah tentu didasarkan pada aspek Filosofis ,Yuridis
maupun Sosiologis serta Politis. Kehadiran Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi, merupakan jawaban atas
keprihatinan berbagai pihak terutama masyarakat pencari keadilan dan juga
aparatur penegak hukum atau mereka yang berkecimpung dalam dunia peradilan yakniPolisi, Jaksa, Hakim dan
juga Pengacara.
Perkembangan
penegakan hukum di Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah serius yang
membutuhkan pemecahan dari aspek hukum dan harus ditunjang dengan proses
atau mekanisme serta bukti-bukti yang kuat, sehingga melahirkan keputusan
hakim yang mengandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Bangsa Indonesia yang sedang giat
dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang
dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.Salah satu kondisi tersebut adalah
penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan
berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi.Untuk
mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara
ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi
masyarakat Indonesia.
Pada umumnya, alat bukti
keterangan Saksi
merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara, selalu bersandar kepada
pemeriksaan keterangan saksi.Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan
alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti
keterangan saksi Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the
degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan Saksi atau kesaksian mempunyai
nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang
harus dipenuhi oleh seorang Saksi.Artinya,
agar keterangan seorang Saksi
dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian.
Saksi rentan terhadap teror dan
intimidasi.
Kebanyakan dari
mereka cenderung tak mau bicara lantaran publik atau aparat penegak hukum
menempatkan Saksi
sebagai “Korban
yang kedua kalinya”.Ini menyusul pengungkapan peristiwa yang dialami, didengar
maupun diketahui Saksi.Kepolisian
Indonesia pun berkomitmen untuk memberi perlindungan kepada Saksi. “Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, pasal 13,” berbunyi:
“Kepolisian
memiliki tugas memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.Kepolisian Indonesia
juga memberikan perlindungan secara massal kepada masyarakat.Dalam melindungi Saksi, Kepolisian Indonesia melaksanakannya
berdasarkan standar Hak
Asasi
Manusia.”
Perlindungan
Hak Asasi Manusia telah banyak diatur dengan jelas dan tegas dalam sebuah
peraturan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam undang-undang
perlindungan anak, perlindungan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan
lain sebagainya yang selanjutnya baru kemudian perlindungan Saksi. Hal ini membuktikan bahwa
ada sebuah Diskriminasi
dalam perlindungan Hukum
dengan melihat proses lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi itu yang sempat
tertunda selama lima tahun.
Persoalan
utama dari kesaksian itu sendiri adalah banyaknya Saksi yang tidak bersedia menjadi Saksi atau pun tidak berani
mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang
memadai atas perlindungan maupun mekanisme tertentu untuk bersaksi.Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam menilai keterangan Saksi yaitu ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam menilai
kekuatan keterangan Saksi
dalam persidangan hal ini dapat dianggap sebagai standar penilaian.Dalam
menilai keterangan Saksi,
disamping harus memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan Saksi dan memperhatikan standar
penilaian keterangan Saksi.
Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu:
Persesuaian
antara keterangan Saksi
satu dengan saksi lainnya.
1.Persesuaian
keterangan Saksi
dengan alat bukti lain.
2.Alasan
Saksi memberikan
keterangan tertentu.
3.Cara
hidup dan kesusilaan Saksi.
Ada beberapa hal yang belum diatur didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yaitu:
1.Wewenang
atau kekuasaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang lebih luas . 2.Rumusan
dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 belum cukup memberikan wewenang
atau kekuasaan yang luas bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Rincian
tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, belum dirumuskan secara jelas
dalam Undang-Undang ini.Pasal 12 hanya merumuskan secara umum tugas dan
wewenang Lembanga Perlindungan
Saksi dan Korban namun tidak secara rinci,
misalnya termasuk wewenang untuk menghadirkan saksi kunci dengan
jaminan perlindungan hak-haknya.
Fungsi kelembagaan
yang bersifat aktif. Fungsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun
2006 khususnya pasal 29 adalah fungsi kelembagaan lebih bersifat pasif,
karena menunggu laporan atau permintaan dari para saksi yang ingin dilindungi.
Seharusnya Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban dapat bertindak untuk melindungi
tanpa harus menunggu laporan atau permintaan dari Saksi.
Kekuatan
mengikat dari
keputusan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 29 huruf c belum secara
tegas mengatur kekuatan mengikat suatu Keputusan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban.
Hubungan
antar kelembagaan terkait harus dirumuskan secara tegas karena bisa saja
terjadi ego sektoral
atau comunitas kebijakan
dan demi kepentingan tertentu sehingga mengabaikanLembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang
berwenang.
Perlindungan
Saksi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dan Perlindungan Saksi
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Menurut Surastini Fitriasih Perlu dipahami bersama bahwa salah satu alat
bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi yang mendengar, melihat,
atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan
menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana.
Penegak hukum dalam mencari dan
menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi disebabkan adanya ancaman,
baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.Sehubungan dengan hal tersebut,
perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi
dan yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.
Jadi selain memang karena
ketentuan dalam KUHP kurang lengkap dan spesifik ditujukan terhadap Saksi sehingga perlu dipertegas
lagi, yang paling penting adalah bagaimana aturan yang sudah ada itu
dimaksimalkan penegakannya untuk melindungan kepentingan dan keselamatan Saksi.
Kelemahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam perlindungan Saksi sebenarnya masalah pengaturan
bantuan hukum untuk pihak Saksi/Korban tidak ada pengaturannya
dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.Tidak ada satu Pasalpun yang menyebutkan mengenai
adanya pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi.
Perlindungan terhadap saksi dalam
KUHAP diatur dalam Pasal 116-120 dan Pasal 159-179, dimana diatur bahwa :
1.Adanya
kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk:
2.Anak
yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir a)
3.Orang
sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali
(Pasal 171 butir a)
1.Dapat
didengarnya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173)
2.Dapat
ditunjuknya juru bahasa bagi saksi yang tidak paham bahasa indonesia (Pasal
177)
Akan tetapi, Mekanisme
perlindungan yang ada dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tersebut dalam
perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya mendukung proses penegakan
hukum dan keadilan. Dalam kenyataannya, hukum pidana Materil dan Formil hanya lebih menekankan
kewajiban Saksi
dari pada hak-haknya.Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 224 dan Pasal 522
KUHP.Dimana dalam Pasal 224 menyebutkan bahwa : “ Barangsiapa dipanggil sebagai Saksi, Ahli atau Juru Bahasa menurut undang-undang
dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku
demikian harus dipenuhinya”,diancam
:
1.Dalam
perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan.
2.Dalam
perkara lain, dengan pidana paling lama enam bulan. (Prof. Moeljatno, S.H.).
Bantuan hukum untuk pihak saksi
dibutuhkan karena hal itu terkait dengan hak dan kewajiban Saksi.Pemberian bantuan ini
dianggap perlu mengingat bahwa ini adalah bentuk keadilan yang harus diberikan
kepada seluruh pihak yang terlibat dalam perkara baik itu Terdakwa, Saksi, dan Korban maupun keluarganya.Hal
tersebut sering kali terlupakan, padahal semangat kita untuk menghukum Terdakwa tidak boleh melupakan
kita akan keadilan dan pemulihan bagi para pihak lainnya. Untuk itulah perlu
adanya bantuan Hukum
dalam bentuk perlindungan terhadap hak para pihak dalam suatu peristiwa
kejahatan baik terhadap Terdakwa
maupun terhadap Saksi, “Saksi adalah mereka yang
mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan
didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya tindak pidana”.Berdasarkan definisi tersebut,
maka tidaklah mustahil Saksi
adalah juga Korban
pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut. Perlunya bantuan hukum demi untuk
memberikan perlindungan karena saksi adalah kunci dalam pengungkapan perkara
pidana. Jika suatu tindak pidana tanpa ada Saksi, akan sulit bagi para
penegak hukum untuk mengungkap siapa pelakunya. Kesulitan yang sama, ketika
saksi tidak mau memberikan kesaksiannya karena adanya tekanan baik yang
sifatnya fisik maupun mental yang ditujukan kepada para Saksi atau keluarga Saksi maupun orang terdekat Saksi. Sehingga jelas disini, Saksi harus dilindungi secara
hukum sebab posisi mereka termasuk dalam posisi yang berat dilihat dari konsekuensi
yang harus ditanggung.Konsekuensi itu dapat berupa ancaman, kekerasan fisik,
diadukan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik, alasan penyuapan dan
lain-lain.
Beberapa aturan atau
perundang-undangan telah ada ketentuan atau pasal yang memberikan perlindungan
hukum sehubungan dengan hak dan kewajiban Saksi. Misalnya dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Pasal 15 yang menyebutkan bahwa:
“KPK berkewajiban memberikan perlindungan
terhadap Saksi
yang menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai tindak pidana
korupsi”.
Kemudian dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 18 menyebutkan bahwa: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”.Selain itu dalam PP No. 2 Tahun
2002 tentang Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran
Berat HAM, disebutkan bahwa:“Setiap saksi dalam pelanggaran
berat HAM berhak untuk mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum”.
Perlunya bantuan hukum untuk
pihak Saksi
yang juga menjadi merupakan bentuk kesetaraan dan keadilan dalam proses perkara
pidana adalah demi peningkatan harkat dan martabat pengadilan.
Menurut Chaerudin Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan suatu sistem
pengadilan inkuisitorial (inquisitorial system) yang memberikan hak dan
kewajiban yang sama kepada para pihak (the right to confront and examine each
another) dalam perkara karena sistem ini dapat memberikan rasa keadilan dan
perlindungan kepada para subyek dalam perkara (subject to the witness
protection) sehingga mereka mendapatkan kesetaraan (equal footing) dalam
membela hak-hak hukumnya.
Pengusutan
suatu perkara tentunya tergantung pada sejauh mana para pihak yang terkait
dalam perkara itu bisa memberikan bukti-bukti yang jelas dan lengkap.Dalam
kaitannya dengan alat bukti keterangan Saksi, tentunya diharapkan adanya kesaksian yang
berkualitas. Kesaksian yang berkualitas itu hanya akan dapat diperoleh
jika ancaman-ancaman, baik yang bersifat fisik maupun psikis, terhadap saksi,
dan kerugian-kerugian materil serta berbagai masalah lainnya yang menjadi
kendala dapat dilenyapkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah itu adalah dengan memberikan suatu perlindungan terhadap Saksi, yakni dengan adanya
ketentuan-ketentuan hukum yang mendasarinya. Kini satu hal yang menjadi masalah
adalah tidak adanya ketentuan hukum yang secara Eksplisit
memberikan perlindungan bagi saksi.Yang ada hanyalah perlindungan-perlindungan
dalam bentuk ketentuan hukum secara Implisit sebagaimana dijelaskan di atas.Berbeda
halnya dengan Indonesia, negara-negara lain, seperti Amerika Serikat dan Afrika
Selatan, sudah memiliki ketentuan hukum yang secara eksplisit memberikan
perlindungan kepada saksi.Amerika Serikat dengan Victim/Witness Protection
Act 1982, dan Afrika Selatan dengan Witness Protection Act
1988. Memang sulit diingkari sampai saat ini posisi saksi, termasuk saksi
korban, dalam proses peradilan di Indonesia hanya dipandang sebagai alat yang
dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan dan untuk melegitimasi
keputusan hakim. Saksi belum dilihat sebagai manusia yang memerlukan
perlindungan.
Menurut Adami Chazawi Nilai pembuktian keterangan Saksi adalah bukan terletak dari
banyaknya (kuantitas) Saksi,
tetapi dari kualitasnya. Artinya isi (fakta) apa yang diterangkan satu saksi
bernilai pembuktian, apabila sama dengan isi dari keterangan Saksi yang lain atau isi alat
bukti yang lain. Berapapun banyaknya Saksi tetapi isi keterangannya berdiri
sendiri-sendiri tidaklah berharga, kecuali apabila isi keterangan beberapa Saksi yang berdiri sendiri-sendiri
tersebut adalah berupa fakta-fakta mengenai suatu kejadian atau keadaan yang
ada hubungan yang sedemikian rupa, sehingga saling mendukung dan membenarkan,
yang jika dirangkai dapat menunjukkan kebenaran atas suatu kejadian atau
keadaan tertentu.Menjadi Saksi
adalah merupakan suatu kewajiban hukum sehingga bila seseorang Saksi tidak mau memenuhi panggilan
yang sah, maka hakim ketua sidang dengan segala kewenangan yang ada
padanya mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi tersebut tidak mau hadir di persidangan dan Ketua Majelis
dapat memerintah Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar saksi tersebut dihadapan
secara paksa untuk hadir memberikan keterangannya didepan Persidangan (Pasal 159 ayat (2)
KUHAP).
Disamping merupakan kewajiban
hakim maka seperti yang dikatakan oleh Sapto
Hudoyo dengan mengutip Surastini
Fitriasih ada resiko-resiko tertentu yang dapat menimpa seorang saksi
antara lain :
a.Bagi
Saksi (apalagi
yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah.
b.Bila
keterangan yang diberi ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya karena
telah dianggap memberikan keterangan palsu.
c.Keterangan
yang diberikan akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi
dari pihak yang merasa dirugikan.
d.Memberikan
keterangan membuang waktu dan biaya.
Aparat
penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka
ataupun terdakwa. Dalam adanya segala resiko-resiko tersebut di atas, maka
sekalipun saksi yang bersangkutan telah memenuhi panggilan untuk menjadi saksi
merupakan suatu kewajiban hukum, sebagian masyarakat yang mengetahui adanya
tindakan pidana atau bahkan menjadi korban dalam suatu tindakan pidana, maka
mereka menjadi enggan untuk melaporkan kepada penegak hukum karena tidak mau
dijadikan sebagai seorang saksi.Oleh karenanya diperlukan adanya suatu
terobosan baru dari penegak hukum berupa insentif kepada mereka untuk mendorong
masyarakat agar mau melapor tindak pidana kepada aparat penegak hukum dan
bersedia menjadi saksi dalam penyelidikan dikepolisian serta memberikan
keterangan didepan persidangan, insentif tersebut antara lain berupa jaminan
perlindungan hukum, maupun reward(penghargaan) tertentu, khususnya untuk tindak
pidana terorganisir seperti terorisme, korupsi, narkotika, pencucian uang,
pelanggaran HAM berat, perdagangan orang, dan lain-lain.
Persoalan
yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah, dalam praktek
perkara pidana kadang muncul seorang yang dihadapkan dalam persidangan
merupakan satu-satunya saksi. Padahal dalam peradilan pidana berlaku prinsip unus
testis nulus testis, yang berarti satu saksi bukan merupakan saksi,
sehingga apabila tidak didukung oleh alat bukti lain maka putusan hakim akan
berwujud putusan lepas dari segala tuntutan.
Kedudukan
saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana
terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidanamenyebutkan
bahwa saksi merupakan salah satu alat bukti sehingga secara tersirat dapat
dilihat bahwa saksi wajib memberikan keterangan/kesaksiannya karena keterangan
saksi adalah alat bukti utama untuk membantu hakim menjatuhkan putusan untuk
terdakwa.
Sebagai
alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak
diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana,
telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Persoalan yang kadang
dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah, dalam praktek perkara pidana
kadang muncul seorang yang dihadapkan dalam persidangan merupakan satu-satunya
saksi.
Padahal dalam peradilan pidana berlaku prinsip
unus testis nulus testis, yang berarti satu saksi bukan merupakan saksi,
sehingga apabila tidak didukung oleh alat bukti lain maka putusan hakim akan
berwujud putusan lepas dari segala tuntutan. Harus diakui bahwa terungkapnya
kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat.
Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat Kejaksaan sampai pada akhirnya di Pengadilan, keterangan saksi
sebagai alat bukti utama menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya Terdakwa.
Jadi
jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan
hukum dan keadilandiakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian
besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses
selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan
saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau
tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat
besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, bahwa peran saksi dalam sistem
peradilan pidana sangatlah penting, oleh karena itu saksi perlu dilindungi dari
aspek hukum acara pidananya. Hal ini penting, karena hukum acara pidana antara
lain mengatur tentang bagaimana aparat penegak hukum (Official Criminal
Justice System) harus bertindak dalam menegakkan hukum pidana, termasuk
dalam memanggil dan memeriksa saksi.
Keharusan-keharusan
yang dipersyaratkan dalam hukum acara pidana dalam melakukan pemanggilan dan
pemeriksaan terhadap saksi oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum, maupun
hakim, merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap saksi.
Pengaturan
demikian penting artinya, untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan
atau pun pelampauan batas kewenangan aparat penegak hukum dalam proses
penanganan perkara pidana, dan timbulnya kerugian yang lebih besar bagi saksi,
baik kerugian material maupun inmaterial, dan hal ini masih banyak terjadi
dalam praktek hukum pidana di masyarakat.
Kelemahan-kelemahan
KUHAP inilah, sejak sebelum orde reformasi pun, banyak kalangan yang menyatakan
perlunya revisi terhadap substansi dalam KUHAP.Salah satunya adalah masalah
pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi.Karena
meskipun saksi diberikan perlindungan namun dalam realitanya, saksi tidak
mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya.
Perlindungan
Saksi Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (Nomor 30 tahun 2002)
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berkomitmen penuh terhadap upaya perlindungan saksi
dalam rangka mendukung pengungkapan kasus-kasus korupsi. Untuk itu kerja sama
maksimal di antara Lembaga
Penegak Hukum (LPH) serta Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) menjadi poin penting dalam mengungkap berbagai
kejahatan, khususnya kejahatan tindak
pidana korupsi.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
memiliki kepentingan untuk melindungi saksi dalam proses pengungkapan sebuah
kasus Tindak
Pidana Korupsi yang menjadi
kewenangannya. Upaya mengungkap kasus korupsi menjadi semakin sulit ketika mereka
yang memiliki informasi serta bukti-bukti kejahatan, enggan mengungkapkan
tindak pidana korupsi manakala tidak ada jaminan perlindungan untuk mereka.Komisi
Pemberantasan Korupsi
(KPK) hingga
saat ini telah beberapa kali memberikan perlindungan langsung terhadap saksi yaitu
:“Untuk beberapa
permohonan lainnya bahkan Komisi Pemberantasan
Korupsi
(KPK) juga
memberikan rekomendasi kepada lembaga perlindungan saksi dan korban untuk
memberikan perlindungan fisik atau perlindungan hukum.”
Hingga
saat ini kerja sama antara Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat dilakukan dalam beberapa
kondisi, seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menyerahkan saksi untuk
dilindungi oleh Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (KPSK) dapat menyerahkan pelapor untuk
dilindungi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). “Bisa juga Komisi Pemberantasan Korupsi dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban secara operasional
bersama-sama memberikan perlindungan terhadap Saksi”. Kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sendiri,sudah terjalin
sejak 2010 dan diperkuat dengan Peraturan Bersama Menkumham, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) , Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Nomor
KEPB-02/01-55/12/2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan,
Saksi Pelaku yang bekerja
sama, yang
ditandatangani pada 14 Desember 2011.
Selain
dengan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Pemberantasan Korupsi juga bekerja sama dalam
bidang pemberantasan korupsi dengan negara lain. “Komisi Pemberantasan Korupsi pernah memberikan
perlindungan hukum berupa pendampingan terhadap saksi yang diminta menjadi
saksi oleh Lembaga
Penegak Hukum Negara lain dalam kasus korupsi.”