24.8.12

Perlindungan Saksi Menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Perlindungan Saksi Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006
Lahirnya sebuah Undang-Undang sudah tentu didasarkan pada aspek Filosofis ,Yuridis maupun Sosiologis serta Politis. Kehadiran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi, merupakan jawaban atas keprihatinan  berbagai pihak terutama masyarakat pencari keadilan dan juga aparatur penegak hukum atau mereka yang berkecimpung dalam dunia peradilan yakniPolisi, Jaksa, Hakim dan juga Pengacara. 
Perkembangan penegakan hukum di Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah serius yang membutuhkan pemecahan dari aspek hukum dan  harus ditunjang dengan proses atau mekanisme  serta bukti-bukti yang kuat, sehingga melahirkan keputusan hakim yang mengandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi.Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

Pada umumnya, alat bukti keterangan Saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan Saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang Saksi.Artinya, agar keterangan seorang Saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian.

Saksi rentan terhadap teror dan intimidasi. Kebanyakan dari mereka cenderung tak mau bicara lantaran publik atau aparat penegak hukum menempatkan Saksi sebagai “Korban yang kedua kalinya”.Ini menyusul pengungkapan peristiwa yang dialami, didengar maupun diketahui Saksi.Kepolisian Indonesia pun berkomitmen untuk memberi perlindungan kepada Saksi. “Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, pasal 13,” berbunyi:
Kepolisian memiliki tugas memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.Kepolisian Indonesia juga memberikan perlindungan secara massal kepada masyarakat.Dalam melindungi Saksi, Kepolisian Indonesia melaksanakannya berdasarkan standar Hak Asasi Manusia.


Perlindungan Hak Asasi Manusia telah banyak diatur dengan jelas dan tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam undang-undang perlindungan anak, perlindungan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagainya yang selanjutnya baru kemudian perlindungan Saksi. Hal ini membuktikan bahwa ada sebuah Diskriminasi dalam perlindungan Hukum dengan melihat proses lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi itu yang sempat tertunda selama lima tahun.
Persoalan utama dari kesaksian itu sendiri adalah banyaknya Saksi yang tidak bersedia menjadi Saksi atau pun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai atas perlindungan maupun mekanisme tertentu untuk bersaksi.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menilai keterangan Saksi yaitu ada beberapa hal yang  perlu diperhatikan dalam menilai kekuatan keterangan Saksi dalam persidangan hal ini dapat dianggap sebagai standar penilaian.Dalam menilai keterangan Saksi, disamping harus memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan Saksi dan memperhatikan standar penilaian keterangan Saksi. Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu:

Persesuaian antara keterangan Saksi satu dengan saksi lainnya.
1.Persesuaian keterangan Saksi dengan alat bukti lain.
2.Alasan Saksi memberikan keterangan tertentu.
3.Cara hidup dan kesusilaan Saksi.

Ada beberapa hal yang belum  diatur didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yaitu:
1.Wewenang atau kekuasaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang lebih luas . 2.Rumusan dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 belum cukup memberikan wewenang atau kekuasaan yang luas bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Rincian tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, belum dirumuskan secara jelas dalam Undang-Undang  ini.Pasal 12 hanya merumuskan secara umum tugas dan wewenang Lembanga Perlindungan Saksi dan Korban namun tidak secara rinci, misalnya termasuk  wewenang untuk  menghadirkan saksi kunci dengan jaminan perlindungan  hak-haknya.
Fungsi kelembagaan yang bersifat aktif. Fungsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 khususnya  pasal 29 adalah fungsi kelembagaan lebih bersifat pasif, karena menunggu laporan  atau permintaan  dari para saksi yang ingin dilindungi. Seharusnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat bertindak untuk melindungi tanpa harus menunggu laporan atau permintaan dari Saksi.
Kekuatan mengikat dari keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 29 huruf c belum secara tegas mengatur kekuatan mengikat suatu Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Hubungan antar kelembagaan terkait harus dirumuskan secara tegas karena bisa saja terjadi ego sektoral atau comunitas kebijakan dan demi kepentingan tertentu sehingga mengabaikanLembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang berwenang.
Perlindungan Saksi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dan Perlindungan Saksi Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Menurut Surastini Fitriasih Perlu dipahami bersama bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.

Jadi selain memang karena ketentuan dalam KUHP kurang lengkap dan spesifik ditujukan terhadap Saksi sehingga perlu dipertegas lagi, yang paling penting adalah bagaimana aturan yang sudah ada itu dimaksimalkan penegakannya untuk melindungan kepentingan dan keselamatan Saksi. 

Kelemahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam perlindungan Saksi sebenarnya masalah pengaturan bantuan hukum untuk pihak Saksi/Korban tidak ada pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Tidak ada satu Pasalpun yang menyebutkan mengenai adanya pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi.

Perlindungan terhadap saksi dalam KUHAP diatur dalam Pasal 116-120 dan Pasal 159-179, dimana diatur bahwa :
1.Adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk:
2.Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir a)
3.Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 171 butir a)

1.Dapat didengarnya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173)
2.Dapat ditunjuknya juru bahasa bagi saksi yang tidak paham bahasa indonesia (Pasal 177)

Akan tetapi, Mekanisme perlindungan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut dalam perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya mendukung proses penegakan hukum dan keadilan. Dalam kenyataannya, hukum pidana Materil dan Formil hanya lebih menekankan kewajiban Saksi dari pada hak-haknya.Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP.Dimana dalam Pasal 224 menyebutkan bahwa : Barangsiapa dipanggil sebagai Saksi, Ahli atau Juru Bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus dipenuhinya”,diancam :
1.Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan.
2.Dalam perkara lain, dengan pidana paling lama enam bulan. (Prof. Moeljatno, S.H.).

Bantuan hukum untuk pihak saksi dibutuhkan karena hal itu terkait dengan hak dan kewajiban Saksi.Pemberian bantuan ini dianggap perlu mengingat bahwa ini adalah bentuk keadilan yang harus diberikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam perkara baik itu Terdakwa, Saksi, dan Korban maupun keluarganya.Hal tersebut sering kali terlupakan, padahal semangat kita untuk menghukum Terdakwa tidak boleh melupakan kita akan keadilan dan pemulihan bagi para pihak lainnya. Untuk itulah perlu adanya bantuan Hukum dalam bentuk perlindungan terhadap hak para pihak dalam suatu peristiwa kejahatan baik terhadap Terdakwa maupun terhadap Saksi, “Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya tindak pidana.Berdasarkan definisi tersebut, maka tidaklah mustahil Saksi adalah juga Korban pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut. Perlunya bantuan hukum demi untuk memberikan perlindungan karena saksi adalah kunci dalam pengungkapan perkara pidana. Jika suatu tindak pidana tanpa ada Saksi, akan sulit bagi para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelakunya. Kesulitan yang sama, ketika saksi tidak mau memberikan kesaksiannya karena adanya tekanan baik yang sifatnya fisik maupun mental yang ditujukan kepada para Saksi atau keluarga Saksi maupun orang terdekat Saksi. Sehingga jelas disini, Saksi harus dilindungi secara hukum sebab posisi mereka termasuk dalam posisi yang berat dilihat dari konsekuensi yang harus ditanggung.Konsekuensi itu dapat berupa ancaman, kekerasan fisik, diadukan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik, alasan penyuapan dan lain-lain.

Beberapa aturan atau perundang-undangan telah ada ketentuan atau pasal yang memberikan perlindungan hukum sehubungan dengan hak dan kewajiban Saksi. Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pasal 15 yang menyebutkan bahwa:KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap Saksi yang menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai tindak pidana korupsi”.

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 18 menyebutkan bahwa:Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”.Selain itu dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Berat HAM, disebutkan bahwa:“Setiap saksi dalam pelanggaran berat HAM berhak untuk mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum.

Perlunya bantuan hukum untuk pihak Saksi yang juga menjadi merupakan bentuk kesetaraan dan keadilan dalam proses perkara pidana adalah demi peningkatan harkat dan martabat pengadilan.
Menurut Chaerudin Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan suatu sistem pengadilan inkuisitorial (inquisitorial system) yang memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada para pihak (the right to confront and examine each another) dalam perkara karena sistem ini dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada para subyek dalam perkara (subject to the witness protection) sehingga mereka mendapatkan kesetaraan (equal footing) dalam membela hak-hak hukumnya.

Pengusutan suatu perkara tentunya tergantung pada sejauh mana para pihak yang terkait dalam perkara itu bisa memberikan bukti-bukti yang jelas dan lengkap.Dalam kaitannya dengan alat bukti keterangan Saksi, tentunya diharapkan adanya kesaksian yang berkualitas.  Kesaksian yang berkualitas itu hanya akan dapat diperoleh jika ancaman-ancaman, baik yang bersifat fisik maupun psikis, terhadap saksi, dan kerugian-kerugian materil serta berbagai masalah lainnya yang menjadi kendala dapat dilenyapkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah itu adalah dengan memberikan suatu perlindungan terhadap Saksi, yakni dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mendasarinya. Kini satu hal yang menjadi masalah adalah tidak adanya ketentuan hukum yang secara Eksplisit memberikan perlindungan bagi saksi.Yang ada hanyalah perlindungan-perlindungan dalam bentuk ketentuan hukum secara Implisit sebagaimana dijelaskan di atas.Berbeda halnya dengan Indonesia, negara-negara lain, seperti Amerika Serikat dan Afrika Selatan, sudah memiliki ketentuan hukum yang secara eksplisit memberikan perlindungan kepada saksi.Amerika Serikat dengan Victim/Witness Protection Act 1982, dan Afrika Selatan dengan Witness Protection Act 1988. Memang sulit diingkari sampai saat ini posisi saksi, termasuk saksi korban, dalam proses peradilan di Indonesia hanya dipandang sebagai alat yang dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan dan untuk melegitimasi keputusan hakim. Saksi belum dilihat sebagai manusia yang memerlukan perlindungan.

Menurut Adami Chazawi Nilai pembuktian keterangan Saksi adalah bukan terletak dari banyaknya (kuantitas) Saksi, tetapi dari kualitasnya. Artinya isi (fakta) apa yang diterangkan satu saksi bernilai pembuktian, apabila sama dengan isi dari keterangan Saksi yang lain atau isi alat bukti yang lain. Berapapun banyaknya Saksi tetapi isi keterangannya berdiri sendiri-sendiri tidaklah berharga, kecuali apabila isi keterangan beberapa Saksi yang berdiri sendiri-sendiri tersebut adalah berupa fakta-fakta mengenai suatu kejadian atau keadaan yang ada hubungan yang sedemikian rupa, sehingga saling mendukung dan membenarkan, yang jika dirangkai dapat menunjukkan kebenaran atas suatu kejadian atau keadaan tertentu.Menjadi Saksi adalah merupakan suatu kewajiban hukum sehingga bila seseorang Saksi tidak mau memenuhi panggilan yang sah, maka  hakim ketua sidang dengan segala kewenangan yang ada padanya mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi tersebut tidak  mau hadir di persidangan dan Ketua Majelis dapat memerintah Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar saksi tersebut dihadapan secara paksa untuk hadir memberikan keterangannya didepan Persidangan (Pasal 159 ayat (2) KUHAP).

Disamping merupakan kewajiban hakim maka seperti yang dikatakan oleh Sapto Hudoyo dengan mengutip Surastini Fitriasih ada resiko-resiko tertentu yang dapat menimpa seorang saksi antara lain :
a.Bagi Saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah.
b.Bila keterangan yang diberi ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya karena telah dianggap memberikan keterangan palsu.
c.Keterangan yang diberikan akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang merasa dirugikan.
d.Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya.

Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka ataupun terdakwa. Dalam adanya segala resiko-resiko tersebut di atas, maka sekalipun saksi yang bersangkutan telah memenuhi panggilan untuk menjadi saksi merupakan suatu kewajiban hukum, sebagian masyarakat yang mengetahui adanya tindakan pidana atau bahkan menjadi korban dalam suatu tindakan pidana, maka mereka menjadi enggan untuk melaporkan kepada penegak hukum karena tidak mau dijadikan sebagai seorang saksi.Oleh karenanya diperlukan adanya suatu terobosan baru dari penegak hukum berupa insentif kepada mereka untuk mendorong masyarakat agar mau melapor tindak pidana kepada aparat penegak hukum dan bersedia menjadi saksi dalam penyelidikan dikepolisian serta memberikan keterangan didepan persidangan, insentif tersebut antara lain berupa jaminan perlindungan hukum, maupun reward(penghargaan) tertentu, khususnya untuk tindak pidana terorganisir seperti terorisme, korupsi, narkotika, pencucian uang, pelanggaran HAM berat, perdagangan orang, dan lain-lain.
Persoalan yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah, dalam praktek perkara pidana kadang muncul seorang yang dihadapkan dalam persidangan merupakan satu-satunya saksi. Padahal dalam peradilan pidana berlaku prinsip unus testis nulus testis, yang berarti satu saksi bukan merupakan saksi, sehingga apabila tidak didukung oleh alat bukti lain maka putusan hakim akan berwujud putusan lepas dari segala tuntutan.

Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidanamenyebutkan bahwa saksi merupakan salah satu alat bukti sehingga secara tersirat dapat dilihat bahwa saksi wajib memberikan keterangan/kesaksiannya karena keterangan saksi adalah alat bukti utama untuk membantu hakim menjatuhkan putusan untuk terdakwa.

Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Persoalan yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah, dalam praktek perkara pidana kadang muncul seorang yang dihadapkan dalam persidangan merupakan satu-satunya saksi.

 Padahal dalam peradilan pidana berlaku prinsip unus testis nulus testis, yang berarti satu saksi bukan merupakan saksi, sehingga apabila tidak didukung oleh alat bukti lain maka putusan hakim akan berwujud putusan lepas dari segala tuntutan. Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat Kejaksaan sampai pada akhirnya di Pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya Terdakwa.

Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilandiakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, bahwa peran saksi dalam sistem peradilan pidana sangatlah penting, oleh karena itu saksi perlu dilindungi dari aspek hukum acara pidananya. Hal ini penting, karena hukum acara pidana antara lain mengatur tentang bagaimana aparat penegak hukum (Official Criminal Justice System) harus bertindak dalam menegakkan hukum pidana, termasuk dalam memanggil dan  memeriksa saksi.
Keharusan-keharusan yang dipersyaratkan dalam hukum acara pidana dalam melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum, maupun hakim, merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap saksi. 

Pengaturan demikian penting artinya, untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan atau pun pelampauan batas kewenangan aparat penegak hukum dalam proses penanganan perkara pidana, dan timbulnya kerugian yang lebih besar bagi saksi, baik kerugian material maupun inmaterial, dan hal ini masih banyak terjadi dalam praktek hukum pidana di masyarakat.
Kelemahan-kelemahan KUHAP inilah, sejak sebelum orde reformasi pun, banyak kalangan yang menyatakan perlunya revisi terhadap substansi dalam KUHAP.Salah satunya adalah masalah pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi.Karena meskipun saksi diberikan perlindungan namun dalam realitanya, saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya.

Perlindungan Saksi Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (Nomor 30 tahun 2002)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkomitmen penuh terhadap upaya perlindungan saksi dalam rangka mendukung pengungkapan kasus-kasus korupsi. Untuk itu kerja sama maksimal di antara Lembaga Penegak Hukum (LPH) serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi poin penting dalam mengungkap berbagai kejahatan,  khususnya kejahatan tindak pidana korupsi.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kepentingan untuk melindungi saksi dalam proses pengungkapan sebuah kasus Tindak Pidana Korupsi yang menjadi kewenangannya. Upaya mengungkap kasus korupsi menjadi semakin sulit ketika mereka yang memiliki informasi serta bukti-bukti kejahatan, enggan mengungkapkan tindak pidana korupsi manakala tidak ada jaminan perlindungan untuk mereka.Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini telah beberapa kali memberikan perlindungan langsung terhadap saksi yaitu :“Untuk beberapa permohonan lainnya bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memberikan rekomendasi kepada lembaga perlindungan saksi dan korban untuk memberikan perlindungan fisik atau perlindungan hukum.”

Hingga saat ini kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat dilakukan dalam beberapa kondisi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menyerahkan saksi untuk dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (KPSK) dapat menyerahkan pelapor untuk dilindungi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Bisa juga Komisi Pemberantasan Korupsi dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban secara operasional bersama-sama memberikan perlindungan terhadap Saksi”. Kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sendiri,sudah terjalin sejak 2010 dan diperkuat dengan Peraturan Bersama Menkumham, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) , Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Nomor KEPB-02/01-55/12/2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan, Saksi Pelaku yang bekerja sama, yang ditandatangani pada 14 Desember 2011.

Selain dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Pemberantasan Korupsi juga bekerja sama dalam bidang pemberantasan korupsi dengan negara lain. “Komisi Pemberantasan Korupsi pernah memberikan perlindungan hukum berupa pendampingan terhadap saksi yang diminta menjadi saksi oleh Lembaga Penegak Hukum Negara lain dalam kasus korupsi.”

Apa Yang Anda Cari ?