17.7.09

Hambatan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Korupsi selain terkait dengan aturan normatif yang lemah, sikap dan  perilaku juga disebabkan karena lemahnya sistem manajemen sumber daya manusia dari penyelengara pemerintahan, mulai dari sistem sistem rekrutmen, karir dan promosi dan penilaian kinerja sampai kepada remunerasinya. Cukup banyak contoh birokrasi nepotisme dalam sistem rekrutmen, karir dan promosi pegawai negeri sipil  yang merupakan bibit-bibit korupsi yang berkembang dalam setiap lini pemerintahan sampai dengan saat ini.


Ketidakpercayaan masyarakat terhadap legitimasi Pemerintah juga disebabkan karena sistem pendidikan yang kurang menggugah kesadaran dan tanggung untuk tidak berbuat atau melawan korupsi, serta kurang menanamkan kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya. Praktik korupsi yang diperoleh oleh anak didik terlihat dengan membayar sejumlah uang kepada guru untuk memperoleh nilai yang baik, dan perbuatan tersebut akan diulangi kembali apabila berada dalam posisi yang sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Rendahnya pendidikan masyarakat juga dapat menjadi faktor yang mengkondisikan praktik korupsi di dalam masyarakat. Rendahnya pendidikan masyarakat tersebut menyebabkan masyarakat seringkali menjadi sasaran empuk birokrasi negara dalam memanipulasi sejumlah fasilitas dan pelayanan publik.

Langkah-langkah untuk menemukenali hambatan dalam pemberantasan korupsi telah dilakukan dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Tingkat Nasional di Bali pada bulan Desember 2002 yang  menyepakati bahwa penanganan korupsi selama ini menghadapi berbagai hambatan serius yang dikelompokkan menjadi:
      
Hambatan Struktural
yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : egoisme sektoral dan institusional yang menjurus pada pengajuan dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan nasional secara keseluruhan serta berupaya menutup-tutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi yang bersangkutan; belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif; lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; serta lemahnya sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi positip dengan berbagai penyimpangan dan inefesiensi dalam pengelolaan kekayaan negara dan rendahnya kualitas pelayanan publik.

Hambatan Kultural,
yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat.. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : masih adanya ”sikap sungkan” dan toleran diantara aparatur pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan toleran dan melindungi pelaku korupsi, campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani korupsi secara tegas dan tuntas, serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Hambatan Instrumental,
yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga menimbulkan tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan instansi pemerintah; belum adanya “single identification number atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll.) yang mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat; lemahnya penegakan hukum penanganan korupsi; belum adanya sanksi yang tegas bagi aparat pengawasan dan aparat penekan hukum; sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi, serta lambatnya proses penanganan korupsi sampai dengan penjatuhan hukuman.

Hambatan Manajemen,
yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik ( komitmen yang tinggi dilaksanakan secara adil, transparant dan akuntabel ) yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : kurang komitmennya manajemen (Pemerintah) dalam menindaklanjuti hasil pengawasan; lemahnya koordinasi baik diantara aparat pengawasan maupun antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; kurangnya dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; tidak independennya organisasi pengawasan; kurang profesionalnya sebagian besar aparat pengawasan; kurang adanya dukungan sistem dan prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi, serta tidak memadainya sistim kepegawaian diantaranya sistim rekrutmen, rendahnya ”gaji formal” PNS, penilaian kinerja dan reward and punishment.

Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan  Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan perangkat pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), masyarakat sangat menaruh harapan pada dua lembaga tersebut untuk mempercepat penanganan dan eksekusi kasus-kasus tindak pidana korupsi yang  melibatkan tersangka tindak pidana korupsi yang berskala besar dan menjadi perhatian masyarakat. Namun tuntutan untuk mempercepat penanganan kasus korupsi tersebut masih belum optimal., cukup banyak permasalahan kapasitas kelembagaan baik pada lembaga Kepolisian, Lembaga Kejaksaan, Lembaga Peradilan, mulai dari struktur organisasi, mekanisme kerja dan koordinasi antara lembaga penegak hukum satu dengan lainnya serta dukungan sarana prasarana untuk mendukung percepatan pemberantasan korupsi. Aparat penegak hukum yang melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana korupsi, kemampuan, profesionalisme dan kualitasnya yang masih jauh dari yang diharapkan. Hal demikian mengakibatkan seringnya kasus korupsi dihentikan proses penyidikannya dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) berhubung belum cukupnya alat bukti yang diajukan.

Demikian pula dengan kasus tindak pidana korupsi yang sudah dilimpahkan ke Pengadilan. Seringkali putusan hakim tidak memenuhi  rasa keadilan masyarakat, secara sosiologis tidak bisa diterima. Hal tersebut tidak lain adalah sebagai akibat dari kurangnya kemampuan dalam pembuktian dan penghayatan terhadap rasa` keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kekurangan kemampuan tersebut mempunyai akibat yang tidak baik terhadap citra lembaga penegak hukum maupun lembaga peradilan dengan tuduhan telah terjadi kolusi dan korupsi. Aparat penegak hukum melakukan penyimpangan, merupakan akar dari ketidak percayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Survei yang dilakukan oleh Asia Fondation dan AC Nielsen pada tahun 2001 menunjukkan 57 persen dari orang yang mengalami masalah hukum cenderung memilih penyelesaian diluar peradilan, 20 persen memilih proses peradilan dan sisanya memilih untuk tidak berbuat apa-apa.
Permasalahan yang juga mengemuka dari  permasalahan korupsi adalah masih lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum. Masyarakat telah semakin skeptis dan curiga dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh masing-masing lembaga penegak hukum, bahkan seringkali dituduh sebagai tempat melindungi aparat yang bersalah. Walaupun pengawasan eksternal saat ini telah semakin intensif dilakukan oleh masyarakat, namun masih menjadi kendala berupa keterbatasan masyarakat untuk memperoleh akses informasi terhadap proses penanganan perkara korupsi maupun putusan terhadap perkara korupsi. Hal ini telah menjadi tuntutan utama, khususnya dari kelompok masyarakat yang menaruh perhatian pada masalah korupsi.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas, Pemerintah Indonesia melalui Kabinet Indonesia Bersatu telah menempatkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas dalam kebijakan nasional dan berkomitmen untuk secara berkesinambungan mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Komitmen tersebut merupakan cerminan seutuhnya dari kehendak masyarakat luas agar Pemerintah Indonesia melakukan tindakan-tindakan konkrit terhadap perilaku dan tindak koruptif di segala tingkatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Komitmen tersebut ditujukan untuk menjamin kepastian hukum, mewujudkan negara Indonesia yang kuat dan kokoh, dan  mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Komitmen bangsa dan negara Indonesia dalam memberantas korupsi memerlukan kerjasama yang erat dan berkesinambungan antara lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, dan semua elemen masyarakat. 
Di samping itu, Pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (UN Convention Against Corruption) dan Konvensi PBB Tentang Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (UN Convention on Transnational Organised Crime), inisiatif dalam lingkup ASEAN Security Community, dan inisiatif-inisiatif lainnya yang dapat memajukan kepentingan Indonesia secara berkesinambungan.

 Semoga Bermanfaat

Apa Yang Anda Cari ?