Ketidakpercayaan masyarakat terhadap legitimasi Pemerintah
juga disebabkan karena sistem pendidikan yang kurang menggugah kesadaran dan
tanggung untuk tidak berbuat atau melawan korupsi, serta kurang menanamkan
kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya.
Praktik korupsi yang diperoleh oleh anak didik terlihat dengan membayar
sejumlah uang kepada guru untuk memperoleh nilai yang baik, dan perbuatan
tersebut akan diulangi kembali apabila berada dalam posisi yang sulit untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Rendahnya pendidikan masyarakat juga dapat
menjadi faktor yang mengkondisikan praktik korupsi di dalam masyarakat.
Rendahnya pendidikan masyarakat tersebut menyebabkan masyarakat seringkali
menjadi sasaran empuk birokrasi negara dalam memanipulasi sejumlah fasilitas
dan pelayanan publik.
Langkah-langkah untuk menemukenali hambatan dalam
pemberantasan korupsi telah dilakukan dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Tingkat
Nasional di Bali pada bulan Desember 2002 yang
menyepakati bahwa penanganan
korupsi selama ini menghadapi berbagai hambatan serius yang dikelompokkan
menjadi:
Hambatan Struktural
yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara
dan pemerintahan yang membuat penanganan
tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam
kelompok ini diantaranya meliputi : egoisme sektoral dan institusional yang menjurus pada pengajuan dana
sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan
nasional secara keseluruhan serta berupaya menutup-tutupi
penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi yang
bersangkutan; belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif;
lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; serta
lemahnya sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi positip dengan
berbagai penyimpangan dan inefesiensi dalam pengelolaan kekayaan negara dan
rendahnya kualitas pelayanan publik.
Hambatan Kultural,
yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di
masyarakat.. Yang termasuk dalam
kelompok ini diantaranya meliputi : masih adanya ”sikap sungkan” dan
toleran diantara aparatur pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi; kurang
terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan toleran dan melindungi
pelaku korupsi, campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam
penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani korupsi
secara tegas dan tuntas, serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian masyarakat
terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Hambatan Instrumental,
yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: masih banyaknya
peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga menimbulkan tindakan
koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan
instansi pemerintah; belum adanya “single identification number”
atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM,
pajak, bank, dll.) yang mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap
anggota masyarakat; lemahnya penegakan hukum penanganan korupsi; belum adanya
sanksi yang tegas bagi aparat pengawasan dan aparat penekan hukum; sulitnya
pembuktian terhadap tindak pidana
korupsi, serta lambatnya proses penanganan korupsi sampai dengan
penjatuhan hukuman.
Hambatan Manajemen,
yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya
prinsip-prinsip manajemen yang baik ( komitmen yang tinggi dilaksanakan secara
adil, transparant dan akuntabel ) yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : kurang
komitmennya manajemen (Pemerintah) dalam menindaklanjuti hasil pengawasan;
lemahnya koordinasi baik diantara aparat pengawasan maupun antara aparat
pengawasan dan aparat penegak hukum; kurangnya dukungan teknologi informasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan; tidak independennya organisasi pengawasan;
kurang profesionalnya sebagian besar aparat pengawasan; kurang adanya dukungan
sistem dan prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi, serta tidak memadainya
sistim kepegawaian diantaranya sistim rekrutmen, rendahnya ”gaji formal” PNS,
penilaian kinerja dan reward and punishment.
Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun
2002 dan perangkat pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
masyarakat sangat menaruh harapan pada dua lembaga tersebut untuk mempercepat
penanganan dan eksekusi kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan tersangka tindak pidana korupsi
yang berskala besar dan menjadi perhatian masyarakat. Namun tuntutan untuk
mempercepat penanganan kasus korupsi tersebut masih belum optimal., cukup
banyak permasalahan kapasitas kelembagaan baik pada lembaga Kepolisian, Lembaga
Kejaksaan, Lembaga Peradilan, mulai
dari struktur organisasi, mekanisme kerja dan koordinasi antara lembaga penegak
hukum satu dengan lainnya serta dukungan sarana prasarana untuk mendukung
percepatan pemberantasan korupsi. Aparat penegak hukum yang melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana korupsi, kemampuan,
profesionalisme dan kualitasnya yang masih jauh dari yang diharapkan. Hal
demikian mengakibatkan seringnya kasus korupsi dihentikan proses penyidikannya
dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) berhubung belum cukupnya
alat bukti yang diajukan.
Demikian pula dengan kasus tindak pidana korupsi yang
sudah dilimpahkan ke Pengadilan. Seringkali putusan hakim tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, secara sosiologis
tidak bisa diterima. Hal tersebut tidak lain adalah sebagai akibat dari
kurangnya kemampuan dalam pembuktian dan penghayatan terhadap rasa` keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Kekurangan
kemampuan tersebut mempunyai akibat yang tidak baik terhadap citra lembaga
penegak hukum maupun lembaga peradilan dengan tuduhan telah terjadi kolusi dan
korupsi. Aparat penegak hukum melakukan penyimpangan, merupakan akar dari
ketidak percayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Survei yang dilakukan
oleh Asia Fondation dan AC Nielsen pada tahun 2001 menunjukkan
57 persen dari orang yang mengalami masalah hukum cenderung memilih
penyelesaian diluar peradilan, 20 persen memilih proses peradilan dan sisanya
memilih untuk tidak berbuat apa-apa.
Permasalahan yang juga mengemuka dari permasalahan korupsi adalah masih lemahnya
sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum. Masyarakat telah semakin
skeptis dan curiga dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh masing-masing
lembaga penegak hukum, bahkan seringkali dituduh sebagai tempat melindungi
aparat yang bersalah. Walaupun pengawasan eksternal saat ini telah semakin
intensif dilakukan oleh masyarakat, namun masih menjadi kendala berupa
keterbatasan masyarakat untuk memperoleh akses informasi terhadap proses
penanganan perkara korupsi maupun putusan terhadap perkara korupsi. Hal ini
telah menjadi tuntutan utama, khususnya dari kelompok masyarakat yang menaruh
perhatian pada masalah korupsi.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas, Pemerintah
Indonesia melalui Kabinet Indonesia Bersatu telah menempatkan pemberantasan
korupsi sebagai salah satu prioritas dalam kebijakan nasional dan berkomitmen
untuk secara berkesinambungan mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Komitmen tersebut merupakan cerminan
seutuhnya dari kehendak masyarakat luas agar Pemerintah Indonesia melakukan
tindakan-tindakan konkrit terhadap perilaku dan tindak koruptif di segala
tingkatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Komitmen tersebut ditujukan
untuk menjamin kepastian hukum, mewujudkan negara Indonesia yang kuat dan
kokoh, dan mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur. Komitmen bangsa dan negara Indonesia dalam memberantas korupsi
memerlukan kerjasama yang erat dan berkesinambungan antara lembaga Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif, dan semua elemen masyarakat.
Di samping itu, Pemerintah Indonesia menyambut baik
kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama
internasional yang telah dan akan dilakukan antara lain berupa pertukaran
informasi, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan pengembalian aset negara
hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Masyarakat
internasional termasuk Indonesia bersama-sama berkomitmen untuk tidak
memberikan perlindungan (deny safe
havens) bagi para koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana
korupsi. Pemerintah Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama
internasional dalam kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (UN Convention Against Corruption) dan
Konvensi PBB Tentang Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (UN Convention on Transnational Organised
Crime), inisiatif dalam lingkup ASEAN
Security Community, dan inisiatif-inisiatif lainnya yang dapat memajukan
kepentingan Indonesia secara berkesinambungan.
Semoga Bermanfaat