10.1.12

Konsep Dasar Politik Hukum Pemerintahan Desa Dan Otonomi


Istilah politik hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu “rechts-politiek” yakni bentukan dua kata “rechts” (hukum) dan “politiek” (politik). Antara kedua kata ini terdapat hubungan yang erat walaupun masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Untuk dapat lebih memahami hubungan antara kedua kata itu, pertama-tama perlu diketahui arti kata politik dan arti kata hukum.
Kata politik dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis Van der Tas mengandung arti beleid, yang berarti kebijakan (policy).  Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak.

Selanjutnya Logemann, dalam bukunya “Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht” yang dikutip Shidarta, membedakan antara ilmu politik dengan politik. Politik merupakan perbuatan memilih pihak tertentu untuk tujuan-tujuan sosial tertentu yang dianggap bernilai, dan pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Ilmu politik meneliti bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan sosial tersebut, dan sarana yang dapat digunakan.
Oleh karena luasnya definisi ilmu politik, Miriam Budiardjo mengkategorikan pengertian-pengertian itu menurut lima konsep pokok, yaitu:
(1) Negara (state);
(2) kekuasaan (power);
(3) pengambilan keputusan (decision making);
(4) kebijakan (policy; beleid);
(5) pembagian (distribution) atau pengalokasian (alocation).

Sedang Joyce Mictchel mengatakan, “politics is collective decisions making or the making of public policies for an entere society”. Senada dengan itu, Karl W. Deustch menyatakan, “politics is the making of decisions by publics means”. Dua pernyataan ini menegaskan bahwa ilmu politik pada dasarnya menekankan pada pengambilan keputusan secara kolektif atau ditujukan untuk kebutuhan publik. Isi dari keputusan itu merupakan kebijakan umum (public policy). Bahkan Hoogerwerf, menekankan bahwa objek ilmu politik adalah kebijakan pemerintah, proses terbentuknya, serta akibat-akibatnya.

Hal yang sama Maurice Duverger mengatakan, bahwa “political in its usual connotation is concept daling with the state” (pengertian yang lazimnya diberikan kepada politik merupakan konsepsi yang berhubungan dengan negara). Senada dengan itu, pakar ilmu politik dari India yaitu S.P. Varma mengatakan “political science now became the science of the state, or a branch of the social sciences dealing with the theory, organization, government and practice of the state”(sekarang ini ilmu politik telah menjadi ilmu pengetahuan tentang negara, atau suatu cabang dari ilmu-ilmu social mengenai teori, organisasi, pemerintahan dan praktek negara). Dalam hubungan ini Gabriel A. Almond & G. Bingham Powell, Jr. memperingatkan bahwa cakupan kata-kata seperti “state, government, nation are limited by legal and institutional meanings” (negara, pemerintahan, dan bangsa, terbatas pada pengertian-pengertian yuridis dan institusional) sebab istilah-istilah itu sebenarnya mencakup lebih banyak lagi. Banyak pakar seperti G.E.G Catlin dan H.D. Lasswell melihat politik sebagai ilmu pengetahuan tentang kekuasaan pada umumnya. Bahkan Karl Loewenstein menganggap bahwa politics is nothing else the strunggle for power (politik adalah tidak lain daripada pergulatan untuk merebut kekuasaan).


Pendapat-pendapat tersebut di atas, tergambar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa kata politik mempunyai tiga arti, yaitu :
1. (IImu) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan);
2. Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb.) mengenai pemerintahan negara atau terhadap Negara lain;
3. kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).

Sedangkan pengertian hukum, seorang pakar hukum Inggris R.W.M. Dias berpendapat bahwa sangat sulit untuk merumuskan definisi hukum yang dapat diterima oleh semua orang. Setiap pemikiran ilmiah di bidang hukum selalu dipengaruhi oleh pandangan hidup orang yang bersangkutan, pandangan politiknya, emosi dan kesukaan-kesukaannya. W. Friedmann mengatakan bahwa hukum bertautan di satu ujung dengan filsafat dan di lain ujung dengan ideologi politik. Itulah sebabnya pendapat para pakar ilmu hukum mengenai pengertian hukum sangat beragam. Hans Kalven dan Hans Zeisel mengatakan bahwa hukum adalah ibarat sebuah jendela untuk melihat kehidupan, hukum adalah sejarah, dan hukum selalu terlihat dalam penterjemahan nilai-nilai masyarakat kedalam norma-norma. Jadi sebagaimana kehidupan itu sangat luas, mempunyai beraneka ragam aspek dan segi maka demikian jugalah hukum. Sulitnya mendefinisikan hukum digambarkan juga oleh Lloyd dalam Achmad Ali dalam “Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis”, yaitu “although ‘much juristic in’ has been used in an attempt to provide a universally acceptable definition of law, there is little sighn of the objective having been attained. Memberikan suatu definisi berarti menyamaratakan, sehingga tidak dapat mencakup semua aspek dan segi itu. Oleh karenanya dapat dapat dipahami kalau pakar hukum terkenal H.L. Hart dalam bukunya “The Concept of Law” tidak memberikan definisi tenang hukum.

Namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa law, in generic sense, is a body of rules of action or conduct prescribed by controlling authority, and having binding legal force  atau mengutip Sri Soemantri Martosoewignjo, bahwa hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat.  Artinya semua ilmuwan hukum sependapat bahwa hukum adalah aturan-aturan mengenai perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, yaitu apa yang patut dan tidak patut dilakukan dalam pergaulan hidupnya.

Di samping arti umum tadi, terdapat pula berbagai arti yang diberikan kepada hukum. Soedjono Dirdjosisworo misalnya, memberikan delapan arti hukum, yaitu:
(1) hukum dalam arti ketentuan penguasa;
(2) hukum dalam arti para petugas;
(3) hukum dalam arti sikap tindak;
(4) hukum dalam arti sistem kaedah;
(5) hukum dalam arti jalinan nilai;
(6) hukum dalam arti tata hukum;
(7) hukum dalam arti ilmu hukum; dan
(8) hukum dalam arti disiplin hukum.

Dengan ilmu hukum dimaksud ilmu ilmu yang menelaah hukum  senagai kaedah atau system kaedah. Dengan dogmatic hukum, hukum sebagai sistematik hukum. Dan hukum dalam arti disiplin, melihat hukum sebagai gejala atau kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Satjipto Rahardjo, mengatakan hukum merupakan institusi sosial  yang tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan masyarakat. Sebagai institusi social maka penyelenggaraannya berkaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri. Hukum itu tidak bekerja menuntut ukuran dan pertimbangannya sendiri, melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk dilakukannya bagi masyarakat. Jadi hukum bukanlah merupakan suatu lembaga yang sama sekali otonom, melainkan berada dalam kedudukan yang kait-mengkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Untuk menjalankan pekerjaannya, hukum membutuhkan suatu kekuasaan sebagai pendorong, tetapi hukum tidak bisa membiarkan kekuasaan ini untuk menunggangi hukum.

Sementara itu Soetandyo Wigjosoebroto, mengatakan bahwa ada tiga konsepsi hukum, yaitu:
(1) konsepsi kaum legis-positiv yang menyatakan bahwa hukum itu identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat serta diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat Negara yang berwenang. Konsepsi pertama ini melihat hukum sebagai suatu sistem normative yang tertutup, otonom, dan terkucil dari kehidupan masyarakat;
(2) konsepsi sosiologis yang mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri. Konsepsi ini melihat hukum sebagai the abstract of actual behavior, dan
(3) konsepsi yang dilahirkan dan dibesarkan di kalangan para antropolog dan yuris yang terpikat oleh studi-studi mengenai hukum yang berlaku dalam masyarakat yang belum mengenal baca-tulis. Menurut konsepsi ketiga, hukum itu adalah identik dengan keputusan-keputusan hakim terutama keputusan-keputusan kepala adat.

Sedangkan Abdoel Gani dalam tulisannya mengemukakan konsep atau tipe hukum sebagaimana dikemukakan oleh R.M. Unger dan Ph. Nonet & Ph. Selznick. Tiga konsep hukum dari Unger adalah customary law or interactional law, bureaucratic law or regulatory law, the legal order or legal system. Customary law adalah  sama dengan konsepsi kedua dari Soetandyo, dan bureaucratic law adalah sama dengan konsepsi pertama dari kaum legis-positivistis. Tiga tipe hukum Ph. Nonet & Ph. Selznieck adalah repressive law, autonomous law, responsive law. Tipologi dari Ph. Nonet & Ph. Selznick berlaku bagi negara-negara yang hanya mengakui hukum tertulis saja. Artinya tergantung dari konfigurasi politik atau sistem politik yang ada. Sedang Abdoel Gani mengikuti pendapat H.Th.J.F van Maarseveen yang mengatakan bahwa Het recht is het gezicht van de politiek (hukum adalah wajah dari politik). Pendapat ini diikuti oleh Mahfud M.D. yang mengatakan bahwa hukum meruapakan produk politik.
Dan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya tidak memberikan pengertian tentang hukum. Nampaknya pengertian hukum diserahkan pada doktrin atau teori hukum.

Selanjutnya pengertian politik hukum L.J. Van Appeldoorn dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum” menggunakan istilah politik perundang-undangan. Hal ini dapat dimengerti karena di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang, dan hukum kebiasaan (tidak tertulis) diakui juga tetapi jika diakui oleh undang-undang.

Sedangkan dari perspektif terminologis, Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasar Hukum mendefiniskan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang dibentuk.

Teuku Mohammad Radhi dalam sebuah tulisannya mendefinsikan politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun (ius constitutum dan ius constituendum).

Adapun menurut Sudarto, politik hukum didefinisikan sebagai kebijakan dari Negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan (ius constitutum).

Sedangkan Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktifitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.

C.F.G. Sunaryati Hartono yang menitikberatkan politik hukum pada aspek ius constitutum mendefinisikan politik hukum sebagai alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasioanal yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

Sementara itu, Abdul Hakim Garuda Nusantara memberikan arti politik hukum sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu.
Oleh karenanya Bagir Manam, berpendapat bahwa politik hukum tidak lain dari politik ekonomi, politik budaya, politik pertahanan dan keamanan, dan politik dari politik itu sendiri. Politik hukum mencakup politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum.

Berdasarkan elaborasi ragam definisi politik hukum tersebut, maka definisi operasional dari politik hukum dalam penelitian ini adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Dengan kata lain politik hukum nasioanal mengandung dua makna utama yang berjalan dialektis yaitu pertama, sebagai legal policy dan kedua, sebagai instrumen untuk menilai dan mengkritisi (instrument pengendali) apakah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut. Sebagai legal policy, politik hukum dijadikan sebagai “blue print” dalam menetukan arah pencapaian tujuan negara yang tertuang dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan konvensi ketatanegaraan. Sedangkan politik hukum sebagai instrument pengendali artinya bahwa dalam mengimplemetasikan hukum, negara melalui organ-organnya berfungsi untuk menjaga agar kebijakan hukum berjalan sesuai dengan fungsinya.

Dengan kata lain politik hukum nasional mengandung dua makna utama yang berjalan dialektis yaitu pertama, sebagai legal policy dan kedua, sebagai instrumen untuk menilai dan mengkritisi (instrumen pengendali) apakah hukum yang dibuat sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut. Sebagai legal policy, politik hukum dijadikan sebagai "blue print" dalam menentukan arah pencapaian tujuan negara yang tertuang dalam,berbagai, produk peraturan perundang-un­dangan, yurisprudensi, dan konvensi ketatanegaraan. Sedangkan politik hukum sebagai instrumen pengendali artinya bahwa dalam mengimplementasikan hukum, negara melalui organ-organnya berfungsi untuk menjaga agar kebijakan hukum berjalan sesuai dengan fungsinya.

Apa Yang Anda Cari ?